Krisis Iklim Makin Parah? Ini Lho Cara Kita Mendeteksinya!

Krisis Iklim Makin Parah? Ini Lho Cara Kita Mendetekinya!

Gimana sih cara kita tahu kalau krisis iklim itu beneran terjadi dan makin parah? Mungkin pertanyaan ini sering muncul di benak kita. Soalnya, kadang cuaca emang suka berubah-ubah, kan? Hari ini panas banget, besoknya tiba-tiba hujan deras. Nah, biar nggak bingung, yuk kita bahas bareng-bareng cara mendeteksi krisis iklim ini!

Apa Bedanya Iklim dan Cuaca?

Pertama-tama, penting banget buat kita paham perbedaan antara iklim dan cuaca. Kadang suka ketuker, nih. Cuaca itu kayak kondisi atmosfer yang kita rasain sehari-hari. Misalnya, pagi ini cerah, siang mendung, sore hujan. Cuaca ini bisa berubah dalam hitungan jam atau hari.

Nah, kalau iklim itu beda lagi. Iklim itu gambaran kondisi atmosfer dalam jangka waktu yang panjang banget, biasanya sekitar 30 tahunan. Parameter utamanya apa aja? Suhu dan curah hujan. Jadi, iklim itu lebih ke pola rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang lama.

Putu Santikayasa, seorang dosen dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli di bidang geofisika dan meteorologi, jelasin kalau iklim itu kondisi atmosfer jangka panjang, sekitar 30 tahunan, dengan suhu dan curah hujan sebagai patokan utamanya. “Perubahan iklim itu bukan cuma fenomena harian, tapi perubahan jangka panjang dalam pola rata-rata cuaca,” katanya.

Jadi, perubahan iklim itu bukan soal besok hujan atau nggak, tapi lebih ke perubahan pola cuaca rata-rata dalam puluhan tahun. Misalnya, suhu rata-rata tahunan makin lama makin naik, atau musim hujan jadi lebih pendek dari biasanya. Itu baru namanya perubahan iklim.

Cara Ilmuwan Mendeteksi Krisis Iklim

Cara Ilmuwan Mendeteksi Krisis Iklim

Terus, gimana caranya ilmuwan mendeteksi perubahan iklim, yang sekarang udah jadi krisis iklim? Ternyata, mereka pakai data-data historis alias data zaman dulu. Mereka bandingin kondisi iklim sekarang dengan kondisi iklim di masa lampau.

Baseline atau patokan yang sering dipakai itu rentang waktu tahun 1960-1990. Tapi, baseline ini terus diperbarui, sekarang jadi 1970-2000. Kenapa diperbarui? Karena iklim itu dinamis, terus berubah. Dengan baseline yang lebih baru, kita bisa lihat perubahan yang lebih update.

Dalam ilmu klimatologi, perubahan iklim ini dianalisis dalam rentang waktu yang lebih panjang lagi, misalnya 2030-2050, 2050-2080, bahkan sampai 2100. Tujuannya buat melihat tren perubahan iklim dalam jangka panjang, dan buat proyeksi kondisi iklim di masa depan.

Penting juga buat kita paham bedanya cuaca dan iklim. Cuaca itu berubah-ubah tiap hari, kayak rollercoaster. Contohnya, hari ini panas terik, besoknya bisa aja hujan badai. Sementara iklim itu lebih stabil, kayak karakter suatu daerah. Indonesia, misalnya, punya iklim tropis. Nggak mungkin tiba-tiba iklimnya berubah jadi subtropis, kan?

Tapi, bukan berarti iklim itu nggak bisa berubah sama sekali, ya. Iklim bisa berubah, tapi perubahannya biasanya lambat dan dalam jangka waktu yang panjang. Salah satu contohnya adalah peningkatan suhu rata-rata bumi. Meskipun perubahannya kelihatan kecil, tapi dampaknya bisa permanen dan signifikan.

Teknologi Canggih Buat Mantau Krisis Iklim

Teknologi Canggih Buat Mantau Krisis Iklim

Nah, di zaman sekarang ini, kita beruntung banget karena teknologi udah makin canggih. Teknologi ini punya peran penting banget buat mantau krisis iklim. Berkat perkembangan di bidang meteorologi, klimatologi, dan oseanografi, ilmuwan jadi bisa menganalisis tren iklim dengan lebih akurat.

Teknologi kayak satelit, kecerdasan buatan (AI), dan data science itu bener-bener ngebantu banget buat pemantauan yang lebih detail. Misalnya, tinggi permukaan air laut bisa dipantau lewat citra satelit. Ilmuwan bisa bandingin data satelit sekarang dengan data 10-20 tahun lalu buat lihat perubahannya.

“Tinggi muka air laut dipantau melalui citra satelit, sekaligus membandingkannya dengan 10-20 tahun lalu,” jelas Putu.

Citra satelit juga bisa dipakai buat dokumentasi pergeseran pola tanam dan dampaknya ke produksi pangan. Kalau kecerdasan buatan, perannya buat menganalisis data perubahan iklim yang jumlahnya gede banget.

Contohnya, penelitian nunjukkin kalau kenaikan suhu bisa bikin jentik nyamuk makin banyak. Akibatnya, penyakit kayak malaria dan demam berdarah bisa makin nyebar. Dengan informasi kayak gini, kita bisa kasih peringatan dini ke masyarakat biar mereka bisa ambil langkah antisipasi.

Literasi Digital dan Perangi Hoax Iklim

Literasi Digital dan Perangi Hoax Iklim

Selain teknologi canggih, ada hal lain yang nggak kalah penting, yaitu literasi digital. Di era digital ini, informasi gampang banget nyebar, termasuk informasi yang salah alias hoax. Sayangnya, isu iklim sering banget jadi sasaran misinformasi.

Prosa AI, startup lokal Indonesia, bikin platform namanya Faktaiklim. Platform ini nggak cuma buat deteksi hoax, tapi juga buat ningkatin literasi digital masyarakat, khususnya soal isu iklim.

Baca Juga: loading

Mokhamad Wildan Marzuqan, Product Manager Prosa.ai, bilang kalau isu iklim itu sering banget jadi target misinformasi. Platform Faktaiklim ini manfaatin teknologi kecerdasan buatan buat menganalisis data dari berbagai sumber. Data yang dimasukin pengguna bakal dibandingin sama artikel-artikel yang udah diverifikasi sebelumnya.

“Sistem akan menentukan apakah informasi valid atau tidak,” kata Wildan.

Platform ini kerennya lagi, udah pakai tiga bahasa daerah, yaitu Minangkabau, Bugis, dan Bali. Sayangnya, kendala utamanya masih soal ketersediaan data. Tantangan lainnya adalah informasi itu harus selalu update dan relevan.

Atasi Krisis Iklim: Jangan Termakan Hoax!

Atasi Krisis Iklim: Jangan Termakan Hoax!

Andianto Haryoko dari Bappenas juga bilang kalau misinformasi dan disinformasi soal perubahan iklim di Indonesia itu masih tinggi banget, terutama di media digital.

Bahkan, ada kajian dari Yougove tahun 2019 yang nyebutin kalau Indonesia pernah jadi negara dengan jumlah penyangkal perubahan iklim terbanyak kedua di dunia setelah Amerika Serikat! Waktu itu, 21 persen warga Indonesia anggap kalau manusia nggak sepenuhnya salah dalam perubahan iklim.

Riset dari Center for Digital Society (CfDS) juga nemuin data yang ngeri. Sekitar 21,5 persen warga setuju dan 11 persen sangat setuju kalau krisis iklim itu gara-gara banyak manusia yang maksiat. Ada juga 25 persen warga yang setuju kalau ilmuwan yang neliti krisis iklim itu dikendaliin sama kaum elit. Survei ini melibatkan 2.401 responden, lho!

Padahal, buat ngatasi krisis iklim ini, kita justru butuh teknologi, salah satunya kecerdasan buatan. Penerapan kecerdasan buatan ini bisa ningkatin kemampuan talenta nasional di bidang teknologi, termasuk buat komunikasi publik soal iklim.

Aksi Nyata Hadapi Krisis Iklim

Aksi Nyata Hadapi Krisis Iklim

Rutz Schmidt, Artificial Intelligence Advisor FAIR Forward GIZ Indonesia, ngejelasin kalau misinformasi itu nggak cuma bikin masyarakat bingung, tapi juga bisa ngambat kebijakan dan aksi nyata buat ngadepin perubahan iklim.

“Tanpa kerja sama sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil, upaya melawan misinformasi iklim akan sulit tercapai,” tegas Rutz.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga udah ngungkapin kalau ancaman krisis iklim itu nyata banget. Indonesia bisa rugi ekonomi sampai Rp112 triliun atau 0,5% dari PDB tahun 2023 gara-gara krisis iklim!

Indonesia sebagai bagian dari PBB (UNFCCC) juga udah komitmen buat capai ketahanan iklim, salah satunya lewat Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim 2020-2045. Targetnya, Indonesia mau nurunin 29% emisi CO2 dengan usaha sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional, biar bisa capai net zero emission di tahun 2060.

Intinya, krisis iklim itu nyata dan makin parah. Kita bisa deteksi dengan lihat data historis dan bantuan teknologi canggih. Yang penting, jangan termakan hoax dan misinformasi. Yuk, sama-sama kita hadapi krisis iklim ini dengan aksi nyata!

Gimana menurut kalian? Punya pendapat lain soal cara deteksi krisis iklim ini? Yuk, share di kolom komentar!

Posting Komentar